Semenjak penetapan Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015, sejarah bangsa tentang peran Kiai dan santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan telah menjadi konsumsi publik di masyarakat luas.Jujur saja, selama ini ada lembaran sejarah yang terpotong.
Di sengaja atau tidak, Orde Baru telah mengebiri dan mereduksi, bahkan menghapus peran penting kiai dan santri dalam proses lahirnya sebuah bangsa hingga mempertahankan kemerdekaan.
Pahlawan bangsa seperti KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Abdul Wahid Hasyim (Menteri Agama pertama), KH. Mas Mansoer (ketua Muhammadiyah), dan KH. Zainal Musthafa (memimpin perlawanan di Tasikmalaya). Juga KH. Abdul Karim, KH. Abdul Wahab Chasbullah, dan KH. Agus Salim yang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, tidak pernah disinggung secara utuh latar belakangnya sebagai kiai yang nota bene nya menjadi pemimpin umat.
Contoh kecil yang berkaitan hal ini adalah kurikulum di sekolah hanya menjelaskan tentang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang diperingati sebagai Hari Pahlawan. Padahal kemenangan Arek-arek Suroboyo dalam pertempuran melawan tentara Inggris yang datang bersama NICA (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie) atau Administrasi Sipil Hindia Belanda adalah ini karena fatwa Resolusi Jihad yang di sampaikan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. “Mengapa hal ini tidak pernah terungkap?”Jika melihat jauh ke belakang, sebutan _Republik Indonesia_ telah dicanangkan oleh para Kiai sejak sepatuh terakhir abad 19, tepatnya pada 14 Juli 1866 M.
Seorang Ulama besar Tgk. Cik Kutakarang, bersama 3 ahli tasawwuf Aceh yang juga dikenal ahli kasyaf, yaitu Al-Arif Billah Sayyid Abu Bakar Al Idrus, Syaikhul Islam Syaikh Muhammad Marhaban, dan Syaikh Muhammad Amir Kurdi, pada 12 Rabiul Awal 1283 H (14 Juli 1866 M) hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, meninggalkan amanah kepada pengikut dan anak cucunya, yang patut kita catat dengan tinta emas sejarah kebangsaan Indonesia berupa visi pembentukan “Negara Republik Indonesia”.
Isi amanah tersebut ditransliterasi oleh Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian, Guru Besar Ilmu Sejarah UGM Yogyakarta dalam bukunya yang berjudul “Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah Tahun 1999″ halaman 234-235. Isi tersebut di antaranya:”Pegang teguh olehmu agama Islam yang suci dan benar, selamat dunia akhirat, dan taat setialah pada qonun syara (Undang-Undang Dasar) Kerajaan Al Jumhuriyyah Al Indonesiah dan jangan sekali-kali bughat yakni durhaka melawan Kerajaan Al Jumhuriyyah Al Indonesiah yang sah dan jangan sekali-kali dalam kerajaan mendirikan lagi kerajaan dan dalam negeri mendirikan negeri.” (Hal ini pernah disampaikan KH Abdul Mun’im, lnstruktur PKPNU PCNU Lasem Angkatan -1, di PP Al Hidayah Kauman Lasem Tahun 2017).
Pada gilirannya, amanat ini menyebar di kalangan santri dan rakyat secara luas, sehingga memicu kesadaran lebih lanjut para anak bangsa untuk menempuh strategi yang lebih luas dan beragam. Puncaknya, pada pada awal abad 20 telah terbuka “zaman baru” yang dikukuhkan dengan sebutan era ‘Kebangkitan Nasional’ dengan berdirinya Serikat Dagang Islam tahun 1905 dan Budi Utomo 20 Mei 1908, kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Umat Islam, sebagai mayoritas penduduk wilayah bangsa ini adalah sebagai pematik api kedaulatan sejak berabad-abad sebelumnya. Sehingga, Dr. Edward Douwes Dekker, seorang sarjana berkebangsaan Belanda yang kritis terhadap penjajahan dan simpati kepada nasib rakyat di negeri ini kemudian masuk Islam dan berganti nama Dr. Setia Budi. Ia pernah mengatakan:”Dalam banyak hal, Islam merupakan nasionalisme di Indonesia, dan jika seandainya tidak ada faktor Islam di sini, telah lama nasionalisme (kebangsaan) yang sebenarnya hilang lenyap dari indonesia.” (Tulisan KH. M. Jadul Maula dalam buku : Khittoh dan Khidmah Nahdlatul Ulama).
Kemudian menjelang kemerdekaan bangsa ini, peran Kiai ikut serta dalam memberi masukan. Baik dalam hal bentuk negara maupun dasar negara. Ini karena para tokoh Bangsa mempunyai kedekatan spritual dengan para Kiai.
Setelah 80 tahun merdeka, hari ini Kiai dan Santri masih berperan strategis dalam upaya menjaga harmoni kerukunan di tengah masyarakat yang majemuk. Kiai tidak henti-hentinya mengajak santri untuk mencintai dan bangga dengan negara Pancasila ini.
Hal ini yang membuat dunia internasional bertanya-tanya, “Apa yang membuat kondisi bangsa ini aman-aman saja, di tengah masyarakat yang penuh ke-Bhinne Ika-an dan biografis keadaan bumi Indonesia yang “fragmented atau divided or separated” yang wilayahnya terpisah-pisah oleh laut atau perairan?”Dengan tegas KH Sa’id Aqil Siradj, Ketua PBNU 2010-2015 dan 2015-2021 menjawab:”Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah warga NU yang tawasut, tasamuh, tawazun dan i’tidal,”.
والله اعلم بالصواب
Kaliori, 20 Oktober 2025
Penulis : Suyatman Hakim
Katib Syuriyah MWCNU Kaliori – Rembang