Sedan (Kemenag) — Ketika memasuki Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang, tepatnya di Jl Raya Sedan – Kragan, kita akan menjumpai Masjid yang luas dan megah. Bagi yang ingin beristirahat, masjid inj cenderung nyaman karena halaman yang luas diwarnai dengan taman-taman kecil yang sejuk.
Masjid tersebut adalah masjid Syatho’. Masjid ini berdiri pada tahun 1978 atas prakarsa tokoh-tokoh agama dan masyarakat, di antaranya H. Zainal Mahmud, KH. Ahmad Sya’di, KH. Abdul Rosyad, serta KH. Najad.
Pendirian masjid ini tidak lepas dari dorongan penuh KH. Mawardi yang menginginkan adanya tempat ibadah layak di Desa Sedan.
Ketua takmir Masjid Syatho’, KH Dimyati Munaji mengisahkan, awalnya, bangunan masjid hanya berupa joglo sederhana. Meski sederhana, masjid ini menjadi pusat ibadah dan kebersamaan warga. Hal ini berangkat dari kebutuhan nyata, sebab kala itu di Desa Sedan belum ada masjid, sementara sebagian besar warga harus melaksanakan shalat Jumat di Masjid Jami’ Sedan Desa Sidorejo.
Namun, perjalanan pendirian masjid ini tidaklah mulus. “Sempat muncul perdebatan antara warga Desa Sedan dan Desa Sidorejo terkait perbedaan pendapat dan jumlah jamaah yang dianggap belum seimbang. Ketegangan itu akhirnya mencair berkat kehadiran KH. Maimoen Zubair. Dengan wibawa dan kearifannya, beliau mampu meredakan ego kedua belah pihak hingga lahirlah satu kesepakatan yang melahirkan persatuan,” papar KH Dimyati.
KH Dimyati juga menceritakan, pemberian nama masjid ini memiliki kisah tersendiri. Awalnya, Sayyid Ali, putra dari Sayyid Hamzah Syatho di Surabaya memberi nama “Masjid As-Syatho.” “Namun, ketika peletakan batu pertama, KH. Maimoen Zubair menyederhanakan nama tersebut menjadi “Masjid Syatho,” katanya.
Arsitektur Jawa
Seiring berjalannya waktu, Masjid Syatho telah mengalami renovasi hingga empat kali. Meski bentuknya berubah menjadi lebih luas dan kokoh, arsitektur masjid tetap mempertahankan nuansa awal berupa ukiran Jawa, sebagai penghormatan terhadap sejarahnya yang berawal dari bangunan joglo.
Tak hanya menjadi tempat shalat, masjid ini sejak dulu juga menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Pada masa awal, selepas magrib masjid dipenuhi anak-anak dan remaja yang mengaji bersama KH. Mas’ud dan KH. Sulaiman. Tradisi pengajian itu terus berlanjut hingga sekarang, bahkan semakin berkembang.
Saat ini, Masjid Syatho menjadi pusat kegiatan keagamaan, seperti ngaji kitab kuning dan kajian rutin bersama tokoh agama setempat, di antaranya KH. Hamdi Maimun dan Gus H. Nasyiruddin. Selain itu juga kegiatan tahlil, maulid nabi serta tahtimul quran binnadhor.
Lebih dari itu, Masjid Syatho kini juga menjadi wadah kolaborasi antar elemen masyarakat. Remaja masjid tampil kompak mendukung program pengurus dan tokoh agama, sementara masyarakat sekitar ikut serta dalam berbagai kegiatan. Setiap momentum hari besar Islam, seperti Ramadan, zakat fitrah, kurban Idul Adha, hingga peringatan Maulid Nabi, dilaksanakan secara meriah dan penuh kebersamaan.
Semua ini menunjukkan bagaimana masjid menjadi pusat ukhuwah, di mana peran agama, pemuda, dan masyarakat menyatu dalam semangat yang sama.
Perkembangan masjid ini juga semakin terasa di era digital. Aktivitasnya kini terdokumentasi dan bisa diakses melalui media sosial, termasuk kanal YouTube, yang menjadi sarana syiar sekaligus bukti bahwa Masjid Syatho mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Masjid Besar Syatho bukan sekadar bangunan fisik, melainkan simbol persatuan, keikhlasan, dan warisan spiritual yang lahir dari semangat kebersamaan. Dari masa ke masa, ia terus hidup sebagai pusat ibadah, pendidikan, syiar Islam, serta tempat bertemunya masyarakat dan wali santri.
Kontributor: Nopras
Editor: Iqoh